Kontribusi Sahabat Dalam Perkembangan Ijtihad Hukum Islam

Sahabat adalah mereka yang pernah melihat dan bertemu Rasulullah dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam. Defenisi ini tidak mensyaratkan berapa lama pertemuan tersebut. Karena itu ada sahabat yang hanya bertemu sebentar dengan Rasulullah, ada juga yang bergaul lama dan sering menyertai beliau dalam berbagai kesempatan seperti: para isteri Rasulullah, khulafaurrasyidun (Abubakar, Umar, Usman, Ali) dan Abu Hurairah. Semua yang pernah melihat dan bertemu Rasulullah tentu bisa menyampaikan sunnah minimal tentang apa yang mereka lihat dan mereka dengar langsung saat mereka bertemu dengan beliau.

Defenisi tersebut mensyaratkan adanya perjumpaan dengan Rasulullah, bukan hanya sekedar hidup di masa beliau hidup. Sehingga orang-orang yang hidup pada masa Rasulullah dan telah beriman, tapi tidak pernah bertemu dengan beliau atau hanya bertemu dengan sahabat dimasukkan ke dalam kategori tabi’in seperti halnya Uwais al-Qarni. Karena Uwais dalam sebuah riwayat diceritakan pernah punya keinginan untuk bertemu Rasulullah, namun gagal, sehingga beliau hanya bertemu dengan sahabat dekat Rasulullah seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib yang dipesan oleh beliau untuk menemuinya. Berdasarkan defenisi di atas tidak berlebihan jika dinyatakan, semua kaum muslimin yang sudah melihat dan bertemu dengan Rasulullah serta mendengarkan khutbah beliau pada saat haji wada’ (haji terakhir) adalah sahabat.

Sahabat adalah generasi yang dididik dan dibina langsung oleh Rasulullah, mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Alqur’an, serta menyaksikan bagaimana Rasulullah memberikan jawaban dan memutuskan persoalan hukum yang terjadi di tengah-tengah mereka. Para sahabat juga mengetahui kapan dan bagaimana Rasulullah mendiamkan dan memberikan dukungan atas tindakan yang mereka lakukan. Semua pengalaman ini hanya dimiliki oleh para sahabat, karena hanya mereka generasi di kalangan umat Islam yang dapat melihat, bertemu dan mendapat didikan langsung dari Rasulullah.

Dengan berbekal pengalaman itulah para sahabat menyelesaikan berbagai persoalan baru yang mereka temukan pasca wafatnya Rasulullah, di samping didukung oleh kemampuan bahasa Arab mereka yang masih asli. Kondisi mereka semakin istimewa, terutama ketika para sahabat besar yang dikenal ahli di bidang hukum masih hidup, seringkali meluangkan waktu untuk bermusyawarah dan saling bertanya satu sama lain tentang kemungkinan adanya hadis atau preseden yang berasal dari Rasulullah terhadap kasus baru yang dihadapi. Kesepakatan mereka kemudian melahirkan konsensus, satu-satunya klaim ijma’ yang mungkin terjadi dalam sejarah. Meskipun pada kenyataannya hasil kesepakatan tersebut lahir dari musyawarah yang sudah pasti memuat perbedaan pendapat. Namun di luar kesepakatan para sahabat tersebut, klaim bahwa telah terjadi ijma’ lebih sulit lagi untuk dibuktikan.

Dalam perkembangan hukum Islam setidaknya ada tiga kontribusi besar para sahabat: pertama, menjawab persoalan-persoalan baru yang belum ada pada masa Rasulullah seperti kasus kalalah, kedua, merubah ketentuan hukum yang sudah ditetapkan Rasulullah berdasarkan pertimbangan maslahat dan tujuan umum syari’at yang menghendaki perubahan tersebut, seperti yang terjadi pada kasus fa’iy. Ketiga mengaplikasikan model penalaran ijtihad praktis yang membantu para ulama setelah generasi mereka -yang dimulai oleh para tabi’in- dalam mensistematisasikannya sebagai sebuah metode ijtihad, yang kemudian berkembang menjadi sebuah displin ilmu tersendiri yang dikenal dengan usul fiqh.

Para sahabat memiliki perbedaan dalam kedekatan dan instensitas kebersamaannya dengan Rasulullah. Hal ini menyebabkan satu sama lain memiliki pengetahuan yang berbeda tentang sunnah. Bahkan tidak jarang terhadap persoalan-persoalan tertentu Rasulullah hanya menyampaikannya kepada sahabat tertentu, sebagaimana Rasulullah memberikan penjelasan tentang hal-hal tertentu yang berhubungan dengan wanita melalui para isteri beliau. Sehingga tidak mengherankan jika para sahabat seringkali bermusyawarah dan bertanya satu sama lain tentang apa yang mereka ketahui dari Rasulullah, berkaitan dengan persoalan yang sedang dihadapi.

Kesempatan ini juga digunakan untuk menguji kebenaran tentang hadis Rasulullah yang mereka terima dari salah seorang sahabat, sementara hadis tersebut belum pernah didengar sebelumnya, sebagaimana halnya kebiasaan Umar bin Khattab ketika mendengar suatu hadis yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Mereka juga saling bertanya tentang suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Arab yang tentunya erat kaitannya dengan budaya Arab dan cara orang Arab memahaminya. Tidak hanya sampai disitu, para sahabat juga punya kecenderungan yang berbeda-beda dalam mengamalkan Alqur’an dan sunnah. Ada yang cenderung tektualis seperti Ibnu Umar, dan ada yang cenderung rasionalis seperti Ibnu Abbas. Sehingga tidak mengherankan, jika perbedaan-perbedaan di atas menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan sahabat.

Dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi, pertama-tama yang dilakukan sahabat adalah berupaya menemukan jawabannya dalam Alqur’an. Jika mereka tidak menemukan jawaban dalam Alqur’an, mereka mencarinya dalam sunnah  termasuk bertanya kepada sahabat lain yang dianggap memiliki pengetahuan tentang sunnah yang dimaksud. Ketika tidak ditemukan jawabannya dalam sunnah, mereka bermusyawarah dengan mempergunakan semua pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil internalisasi bersama Rasulullah, termasuk pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa dan budaya Arab.

Dengan demikian menjadi sebuah kewajaran, jika pendapat sahabat ini sangat dipertimbangkan oleh para ulama mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Karena para sahabat memiliki seperangkat pengetahuan sebagai hasil internalisasi mereka bersama Rasulullah, yang tidak dimiliki oleh generasi manapun setelah mereka. Dengan mempelajari ijtihad para sahabat, dan meneliti perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka, akan membuat para pengkaji hukum Islam semakin memahami betapa dinamisnya hukum Islam, dan betapa pentingnya mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan prinsip-prinsip syariat dalam ijtihad hukum Islam, baik dalam menggali hukum Islam dari nas-nas syari’at dalam bentuk ijtihad istimbati, maupun dalam menerapkannya (ijtihad tatbiqi).

 Wa Allahu A’lam.

Penulis: Anton Jamal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top